Jousairi Hasbullah
Pemerhati Kependudukan dan Bekerja di BPS
Pendataan penduduk itu terkesan mudah, padahal sulit dan rumit. Terkait kisruh DPT, sebetulnya itu berpangkal dari tiga hal, yaitu terkait dengan kompetensi teknis pendataan, kesungguhan seluruh jajaran KPU dan pemerintah daerah untuk melaksanakan manajemen pemutakhiran data secara benar, serta mungkin saja karena adanya manipulasi data secara sengaja. Bagaimana spektrumnya dan bagaimana membenahinya untuk kepentingan pilpres?
Kompetensi teknis
Kompetensi teknis menuntut petugas pendata atau petugas pemutakhiran data memahami konsep-konsep kependudukan yang dapat menjaring data yang relatif dapat dipertanggungjawabkan. Terkait pemutakhiran data DPT yang dilakukan oleh KPU, data yang diserahkan oleh masing-masing dinas kependudukan di kabupaten/kota setidaknya menuntut kompetensi teknis dalam tiga hal.
Pertama, petugas wajib memahami konsep keberadaan seseorang. Dalam konsep baku kependudukan yang ada di Indonesia, seseorang akan dicatat di tempat dia ditemui. Bukan karena KTP-nya, tetapi didasarkan atas prinsip de facto, yaitu seseorang telah menetap dalam suatu periode tertentu atau berniat menetap secara permanen melampaui periode tertentu itu. Betul, menurut aturan, yang berhak memilih adalah mereka yang memiliki nomor induk kependudukan, tetapi ini adalah urusan berikutnya. Konsep dasarnya terlebih dahulu, yaitu sebagai saringan, harus dijaring dalam pencatatan .
Dengan konsep ini, siapa pun yang menetap di suatu wilayah, walau baru datang satu hari, akan tetap dicatat di tempat itu kalau niatnya akan menetap secara permanen. Jika ini dilakukan, kemungkinan terjadinya exclusion error (orang yang sebetulnya berhak masuk ke dalam DPT, tetapi ternyata tidak masuk) akan dapat dicegah. Sebaliknya, apabila konsep ini di langgar, ini akan membuka peluang orang yang pindah antar-RT, antar-RW, antarkelurahan, atau antarwilayah administratif lainnya yang akan tercatat ganda atau tidak tercatat sama sekali. Itulah awal dari terjadinya daftar pemilih ganda. Dalam langkah selanjutnya, kaidah tersebut bisa saja dikecualikan jika yang bersangkutan--yang memiliki dua atau lebih tempat tinggal--menyatakan akan memilih di tempat yang telah ditentukannya sendiri (Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2008).
Kedua, konsep batasan umur. Menurut standar pendataan internasional, umur seseorang harus dicatat secara sangat hati-hati dan selalu dibulatkan ke bawah, ulang tahunnya yang terakhir, dan dicatat secara cermat tanggal kelahirannya. Jika konsep umur ini tidak dipatuhi, dapat terjadi seseorang yang sebetulnya belum berumur 17 tahun pada saat pemilihan malah tetap tercatat sebagai pemilih hanya karena dasar pengakuan atau karena anggapan dari petugas atau aparat RT/RW bahwa seseorang tersebut telah dewasa dan dapat memilih. Inilah awal dari banyaknya kejadian di mana mereka yang belum cukup umur tetap terdata sebagai pemilih. Sebaliknya, mereka pada saat pemilihan telah cukup umur, tapi tidak terdaftar. Rujukan pencatatan umur ini harus pada saat hari pemilihan, bukan pada saat pencatatan.
Ketiga adalah pemahaman tentang konsep nuptialitas (kawin, cerai, dan rujuk). Bisa saja seseorang pada saat pendataan belum berumur 17 tahun, tetapi tetap terdaftar sebagai pemilih karena sudah menikah dan telah membangun keluarga baru. Mereka, sesuai peraturan, berhak untuk memilih. Ini perlu dilakukan dengan sangat saksama, mengingat arus suplai early marriage couple yang berumur kurang dari 17 tahun di Indonesia masih sangat besar. Jangankan dalam hitungan bulan, setelah masa updating data untuk DPT ditutup, setiap hari ribuan rumah tangga baru terbentuk.
Dengan pola penutupan pendaftaran 30 hari sebelum pemilu atau sebelum pilpres dilakukan, tentu akan banyak pasangan kawin muda yang tidak akan terdaftar dalam DPT. Begitu juga dengan mereka yang pada saat DPT ditutup belum berumur 17 tahun, tetapi ketika hari H pemilihan mereka telah mencapai umur tersebut. Ini semua membutuhkan antisipasi sungguh-sungguh. Karena, menurut peraturan yang dibuat oleh KPU sendiri, warga negara yang pada hari pemilihan (bukan pada saat ditutupnya pemutakhiran data untuk DPT) sudah berumur 17 tahun dan atau sudah/pernah kawin mempunyai hak untuk memilih (Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2008).
Keempat, semua konsep dasar demografi tersebut harus dipahami secara seragam oleh seluruh petugas dan aparat yang terkait dengan pendataan. Karena itu, dalam standar baku kegiatan pengumpulan data statistik, pelatihan khusus selama beberapa hari, bukan hanya briefing selintas, untuk setiap calon petugas pendata menjadi keharusan.
Kemudian, efektivitas organisasi pendataan harus terjamin: setiap petugas yang melakukan pendataan di lapangan harus disupervisi, diperiksa, dan diberi pengarahan setiap hari oleh petugas yang memiliki kompetensi pendataan secara baik. Ini diperlukan untuk memastikan bahwa semua konsep dan prosedur pendataan telah dilakukan.
Kesungguhan
Pertanyaannya, apakah pemahaman konsep demografis tersebut telah dijalankan oleh jajaran KPU? Apa prosedur dan manajemen pendataan telah dilakukan secara efektif? Kemungkinan belum. Dalam praktiknya di lapangan, petugas pemutakhiran hanya diserahkan ke petugas dari aparat desa kelurahan dan atau petugas RT/RW tanpa supervisi yang memadai dan juga tanpa pelatihan untuk memahami konsep-konsep kependudukan yang rumit.
Para petugas pemutakhiran akhirnya hanya menyandarkan pencatatannya pada catatan-catatan admistratif yang ada, yang tak jauh berbeda dengan data dasar yang telah digunakan di saat pilkada atau pilkades.
Pekerjaan pendataan atau pemutakhiran data (updating data) membutuhkan kesungguhan yang luar biasa dari pimpinan tertinggi di tingkat pusat (ketua KPU) sampai ke jajaran terbawah, yaitu petugas pemutakhiran. Kesungguhan itu harus terefleksikan melalui gerakan dan kerja nyata setiap hari untuk memastikan apakah prosedur standar pemutakhiran tersebut telah dilakukan.
Celakanya, kita selama ini, termasuk sebagian besar jajaran pemerintah, politisi, partai politik, dan masyarakat umum, memiliki kultur menggampangkan hal-hal yang terkait dengan pendataan. Ada anggapan yang meluas bahwa persoalan mendata penduduk cukup diserahkan kepada aparat desa/kelurahan dan RT/RW setempat. Lalu, beres.
Jajaran Departemen Dalam Negeri, KPU, dan kita semua telah lalai. Padahal, pendataan kependudukan, tentu saja termasuk pemutakhiran data DPT yang sangat strategis dan menentukan kualitas pemilu, adalah salah satu jenis pendataan tersulit karena pergerakan dan perubahan objek pendataan yang begitu cepat.
Kemungkinan intervensi politis
Penyebab lain kisruh data DPT yang banyak diangkat ke permukaan, terutama setelah pemilu legislatif berakhir, adalah kemungkinan adanya upaya sistematis pihak tertentu memanipulasi data untuk pemilu legislatif atau bisa saja dalam rangka pilpres yang akan datang. Kemungkinan ini tetap ada, tetapi yang paling mungkin terjadi di sebagian tempat adalah manipulasi itu telah dilakukan terkait pilkada/pilkades yang datanya digunakan lagi untuk pemilu legislatif.
Data manipulatif ini tidak lagi dilakukan verifikasi yang memadai oleh petugas KPU setempat. Karena, pada saat manipulasi sebelumnya, kemungkinan semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemutakhiran data telah ikut berperan. Jika demikian, berarti tanggung jawab centang-prenang data DPT seharusnya dipikul oleh semua pihak: KPU, pemerintah kabupaten/kota, pemerintahan provinsi, pemerintah pusat, parpol, serta semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada di daerahnya masing-masing. Sangat ironis bagi partai-partai politik yang banyak menempatkan/mempunyai bupati/wali kota dan bahkan kepala desa jika sekarang mempersoalkan keabsahan data DPT.
Solusi sederhana untuk pilpres
Untuk keperluan pilpres yang waktu pemutakhiran datanya sudah sangat mendesak dan mengingat kompetensi teknis pendataan yang minimalis, rasanya mustahil untuk meluruskan data DPT yang bermasalah tersebut dengan cara pengeterapan konsep-konsep kependudukan seperti yang telah diuraikan. Tidak akan cukup waktu. Apalagi kalau mau melakukan pemutakhiran dari pintu ke pintu (door to door).
Yang diperlukan sekarang adalah penyisiran wilayah secara cepat oleh aparat di tingkat RT/RW untuk mencatat siapa yang telah memenuhi syarat memilih, tetapi belum terdata. Pihak KPU harus sangat aktif. Selain itu, kampanye besar-besaran oleh KPU perlu terus dilakukan bahwa siapa yang belum terdaftar agar segera secara aktif mendaftarkan diri. Petugas penerima pendaftaran pun harus siap secara tim menerima para pendaftar. Kultur pendataan kita masih sangat lemah dan persoalan DPT tidak sesederhana yang kita duga.
Sabtu, 18 April 2009
Spektrum Kisruh DPT
Sabtu, 18 April 2009 pukul 23:52:00
Langganan:
Postingan (Atom)